Kamis, 25 Juli 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling memengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling memengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka.
Menurut Weinrich  kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian.[1] Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.[2] keterangan diatas masih sebagian kecil dan keterangannya yang lebih lengkap akan dijelaskan di pembahasan dengan judul interferensi dan integrasi.


B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana konsep  interferensi dalam kajian bahasa?,
2.      Bagaimana konsep  integrasi dalam kajian bahasa?
3.      Bagaimanakah kaitannya interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui dengan konsep  interferensi dalam kajian bahasa?,
2.      Untuk mengetahui dengan konsep integrasi dalam kajian bahasa?
3.      Untuk mengetahui kaitannya interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Interferensi
Istilah interferensi kali pertama digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Weinreich menganggap bahwa interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan ditegaskan pula dalam handout Sosiolinguistik, Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, interferensi ialah masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yang dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun semantis. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi yang pertama ialah faktor kontak bahasa disini bahasa-bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu saling berhubungan sehingga perlu digunakan alat pengungkap gagasan. Faktor tersebut menyebabkan terdapat interferensi performansi atau interferensi sistemis. Yang kedua ialah faktor kemampuan berbahasa yang akan mengakibatkan interferensi belajar muncul. Jika kita melihat dari segi unsur bahasa yang dikuasai terdapat interferensi progesif (interferensi terjadi dalam bentuk masuknya unsur bahasa yang sudah dikuasai ke bahasa yang dikuasai sebelumnya) dan interferensi regresif (masuknya unsur bahasa yang dikuasai kemudian ke bahasa yang sudah dikuasai).
Hartman dan Stork tidak menyebut interferensi sebagai pengacauan atau kekacauan, melainkan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua (Jurnal Humaniora karya Ratrika Dewi, tahun 2012).  Faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi itu antara lain adalah adanya perbedaan di antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan yang tidak saja dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakatanya. Gejala itu sendiri terjadi sebagai akibat pengenalan atau pengidentifikasian penutur terhadap unsur-unsur tertentu dari bahasa sumber, kemudian memakainya dalam bahasa sasaran.
1.      Jenis Interferensi
a.      Interferensi bunyi/Fonetik
Interferensi terjadi bila penutur itu mengidentifikasi fonem sistem bahasa pertama (bahasa sumber atau bahasa yang sangat kuat memengaruhi seorang penutur) dan kemudian memakainya dalam sistem bahasa kedua (bahasa sasaran). Dalam mengucapkan kembali bunyi itu, dia menyesuaikan pengucapannya dengan aturan fonetik bahasa pertama. Penutur dari jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homorgan di muka kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata:/mBandung/, /mBali/, /nDaging/, /nDepok/, /ngGombong/, /nyJambi/ dalam pengucapan kata-kata tersebut telah terjadi interferensi tata bunyi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia.
b.      Interferensi Tatabahasa/Morfologi
Terjadi apabila seorang penutur mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama dan kemudian menggunakannya dalam bahasa kedua. Interferensi tata bentuk kata atau morfologi terjadi bila dalam pembentukan kata-kata bahasa pertama penutur menggunakan atau menyerap awalan atau akhiran bahasa kedua. Misalnya awalan ke- dalam kata ketabrak, seharusnya tertabrak, kejebak seharusnya terjebak, kekecilan seharusnya terlalu kecil. Dalam bahasa Arab ada sufiks -wi dan -ni untuk membentuk adjektif seperti dalam kata-kata manusiawi, inderawi, dan gerejani. Tipe lain interferensi ini adalah interferensi struktur. Yaitu pemakaian struktur bahasa pertama dalam bahasa kedua. Misalnya kalimat dalam bahasa Inggris, I and my friend tell that story to my father sebagai hasil terjemahan dari saya dan teman saya menceritakan cerita itu kepada ayah saya. Dalam kalimat bahasa Inggris tersebut tampak penggunaan struktur bahasa dalam bahasa Indonesia. Padahal terjemahan yang baik tersebut sebenarnya adalah My friend and i tell that story to my father.
c.       Interferensi Kosakata/Sintaksis
Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Bisa juga terjadi perluasan pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna kata yang sudah ada sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau bahkan gabungan dari kedua kemungkinan di atas.Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.
d.      Interferensi Tatamakna/Semantik
Interferensi dalam tata makna dapat dibagi menjadi tiga bagian.
(1) Interferensi perluasan makna atau expansive interference, yakni peristiwa penyerapan unsur-unsur kosakata ke dalam bahasa lainnya. Misalnya konsep kata Distanz yang berasal dari kosakata bahasa Inggris distance menjadi kosakata bahasa Jerman. Atau kata democration menjadi Demokration dan demokrasi.
(2) Interferensi penambahan makna atau additive interference, yakni penambahan kosakata baru dengan makna yang agak khusus meskipun kosakata lama masih tetap dipergunakan dan masih mempunyai makna lengkap. Misalnya kata Father dalam bahasa Inggris atau Vater dalam bahasa Jerman menjadi Vati. Pada usaha-usaha ‘menghaluskan’ makna juga terjadi interferensi, misalnya: penghalusan kata gelandangan menjadi tunawisma dan tahanan menjadi narapidana.
(3) Interferensi penggantian makna atau replasive interference, yakni interferensi yang terjadi karena penggantian kosakata yang disebabkan adanya perubahan makna seperti kata saya yang berasal dari bahasa melayu sahaya.
Bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya, pemakaian yang luas dan mempunyai kosakata yang sangat banyak, akan banyak memberi kontribusi kosakata kepada bahasa-bahasa yang berkembang dan mempunyai kontak dengan bahasa tersebut. Dalam proses ini bahasa yang memberi atau memengaruhi disebut bahasa sumber atau bahasa donor, dan bahasa yang menerima disebut bahasa penyerap atau bahas resepien, sedangkan unsur yang diberikan disebut unsur serapan atau inportasi.  Menurut Soewito interferensi dalam bahasa indonesia dan bahasa-bahasa nusantara berlaku bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa indonesia dan bahasa indonesia banyak memasuki bahasa daerah.[3] Tetapi dengan bahasa asing, bahasa indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi.
2.      Unsur- unsur dalam Interferensi
Sekurang- kurangnya ada tiga unsur penting yang mengambil peranan dalam terjadinya proses interferensi yaitu:
a.       Bahasa sumber (source language) atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang dominan dalam suatu masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali dipinjam untuk kepentingan komunikasi antar warga masyarakat.
b.      Bahasa sasaran atau bahasa penyerap (recipient). Bahasa penyerap adalah bahasa yang menerima unsur- unsur asing itu dan kemudian menyelaraskan kaidah- kaidah pelafalan dan penulisannya ke dalam bahsa penerima tersebut.
c.       Unsur serapannya atau importasi (importation). Hal yang dimaksud di sini adalah beralihnya unsur- unsur dari bahasa asing menjadi bahasa penerima.
 Secara umum, Ardiana (dalam Interferensi dan Integrasi Bahasa,) membagi interferensi menjadi lima macam,[4] yaitu
(1) Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru.
(2)   Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.
(3)   Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.
(4)   Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
(5)   Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi menurut Jendra dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain[5]:
(1)   Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan
Kontak bahasa  bisa terjadi  antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
(2)   Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan
Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima.  Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini  disebut interferensi reseptif.
(3)   Interferensi ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan  bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing  disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4)   Interferensi ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Dennes dkk. yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1)   Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
(2)   Penggantian unsur suatu bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
(3)   Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
(4)   Perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa A
3.      Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinrich ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
a.       Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
b.      Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber  yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
c.       Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.
d.      Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber. Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
e.       Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
f.        Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut.  Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
g.       Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat  terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing.  Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
B.     Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya[6] . Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa  integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.Weinrich mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu  semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima. Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu  penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya (dalam jurnal ilmiah dengan judul Interferensi dan integrasi dalam situasi keanekabahasaan; kongres bahasa Indonesia ke-3 pada tg. 28 Okt. - 3 Nop. 1978 di Jakarta; oleh Soepomo Poedjosoedarmo).
C.     Kaitan interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa  
Roman Jakobson memberikan keterangan bahwa interferensi dan juga integrasi hanya akan berpengaruh terhadap sistem bahasa sepanjang ada kemungkinan pembaharuan dalam system bahasa penerima itu, sedangkan Weinreich  dengan lebih dulu memberi keterangan bahwa interferensi mengandung pengertian penyusunan kembali pola-pola bahasa donor menurut system bahasa penyerap, memberikan penegasan bahwa bagaimanapun juga sedikit atau banyak peristiwa interferensi itu akan mempunyai pengaruh bagi system bahasa penyerapnya.
Pemakaian bahasa dalam dunia pembelajaran tidak bisa  lepas sepenuhnya dari interferensi dan campur kode dari bahasa lain. Penelitian sederhana ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa menggunakan interfensi dan campur kode dalam penggunaan bahasa dalam keseharian mereka. Dapat dicontohkan dengan bagan sebagai berikut:
Bahasa Asing
Bahasa Indonesia
Bahasa Daerah
A1
D1
A2, dst
D2,dst

Sehubungan dengan adanya bahasa yang “kaya” dengan kosakata, dan bahasa yang masih bekembang yang kosakatanya belum banyak, timbul pertanyaan, apakah hanya bahasa “kaya” yang bisa menjadi donor, dan bahasa “miskin” hanya menjadi resipien, ataukah sebaliknya : bahasa “miskin” juga bisa menjadi donor pada bahasa “kaya”. Menurut logika, memang hanya bahasa kayalah yang memunyai peluang untuk menjadi donor., sedangkan bahasa miskin hanya sebagai resipien, dan tak berpeluang menjadi bahasa donor. Namun, dalam kenyataannya, karena bahasa itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat penuturnya, maka dapat dikatakan tidak sejalan dengan pendapat tersebut. bahwa kenyataanya bahasa yang dianggap miskin juga dapat menjadi donor kosakata pada bahasa kaya.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa interfensi leksikal bukanlah ditentukan oleh kaya dan miskinnya suatu bahasa, melainkan oleh pengaruh budaya masyarakat bahasa yang melekat pada bahasa itu. Karena dari contoh data yang diambil juga, para mahasiswa yang terlibat komunikasi, masing-masing berlatar belakang budaya yang berbeda, ada jawa, madura, dan sebagainya.
Banyak ditemukan interferensi pada dwibahasawan yang sangat kuat dengan bahasa ibunya, baik itu usia anak maupun usia deawa dalam bahasa tuturan. Begitu juga dapat dilihat dari bahasa lisan yang digunakan oleh guru pada waktu mengajar.
(1) “Ada undangan mantenan atau ada undangan apa sehingga lupa belajarnya.”
Interferensi ini termasuk interferensi di bidang leksikal.
(mantenan: Jawa=pernikahan: Indonesia)
(2) “Yang lain ada ndak?”
(Ndak: Jawa= tidak: Indonesia)
Interferensi ini termasuk interferensi di bidang tata bahasa.
(3) “Ndak mau?”
(Ndak: Jawa= tidak: Indonesia)
Termasuk interferensi di bidang tata bahasa.
(4) Masa ndak ada Mantovani yang lain?”
(Ndak: Jawa= tidak: Indonesia)
Termasuk interferensi di bidang tata bahasa.
(5) “Saiki ditulis!”
(saiki: Jawa = sekarang: Indonesia)
Termasuk interferensi dalam bidang leksikal dalam bentuk kata dasar.
(6) “Alat apa yang digunakan?”
“Garisan, pulpen”
(garisan: Jawa = penggaris atau mistar: Indonesia)
Interferensi ini termasuk interferensi dalam bidang tata bahasa yaitu pada penggunaan kata dasar.
(7) “Entar…”
(entar: dialek Betawi= nanti: Indonesia)
(8) “Karena selesai pulang langsung seger
Contoh : “Saya belum dapat baca bukunya!” (ketika siswa menjawab pertanyaan guru mengenai kesediaan siswa menjelaskan isi sebuah buku)
Dari contoh di atas terjadi
interferensi bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia, yaitu digunakannya akhiran ne dalam bahasa Bali yang berubah menjadi nya dalam bahasa Indonesia.[7]
Sehubungan dengan semakin meningkatnya tingkat interfensi bahasa yang terjadi di Indonesia, maka perlu adanya tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Berkaitan dengan interferesi ke dalam bahasa Indonesia tersebut di atas, maka ada hal-hal yang perlu dilakukan.
Pertama, menyadarkan masyarakat Indonesia terutama para generasi penerus bangsa ini bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus kita utamakan penggunaannya. Penyadaran ini dapat dilakukan oleh para orang tua di rumah kepada anak-anak mereka. Dapat pula dilakukan oleh para guru kepada para siswa mereka. Selain itu, pihak pemerintah dapat bertindak secara bijak dalam menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia di negara kita. Sebagai contoh, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Kebahasaan.
Kedua, menanamkan semangat persatuan dan kesatuan dalam diri generasi bangsa dan juga masyarakat luas untuk memperkukuh bangsa Indonesia dengan penggunaan bahasa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang dapat kita gunakan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Cara menanamkannya dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di masyarakat.
Ketiga, pemerintah Indonesia harus menekankan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam cerita fiksi, baik film,maupun karangan yang berbentuk tulisan lainnya. Dengan penggunaan bahasa Indonesia secara benar oleh misalnya para pelaku dalam film nasional yang diperankan aktor dan aktris idola masyarakat, masyarakat luas juga akan mengunakan bahasa Indonesia seperti para idola mereka tersebut.
Keempat, meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan di perguruan tinggi. Para siswa dan mahasiswa dapat diberikan tugas praktik berbahasa Indonesia dalam bentuk dialog dan monolog pada kegiatan bermain drama, dalam bentuk diskusi kelompok, penulisan artikel dan makalah, dan juga dalam bentuk penulisan sastra seperti cerita pendek dan puisi. Dengan praktik-praktik berbahasa Indonesia tersebut, dapat mengembangkan kreativitas berbahasa Indonesia mereka dan juga dapat membiasakan mereka berbahasa Indonesia secar baik dan benar.



BAB III
KESIMPULAN
Perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan . dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi



DAFTAR RUJUKAN

Chaer ,Abdul dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.(Jakarta: Rineka Cipta,1995)
Suwito.Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. (Surakarta: Henary Cipta,1985)
Ardiana, Leo Idra.. Analisis kesalahan Berbahasa.( FPBS IKIP Surabaya,1990)
Jendra. I Wayan. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. (Denpasar: Ikayana. 1991)
Kridalaksana,Harimurti.Introduction to Word Formation and Word Classes.( Jakarta. Universitas Indonesia,1998)
Interferensi dan integrasi, dalam http://berandauci.blogspot.com/2013/01/interferensi-dan-integrasi.html diakses pada tanggal 20 juni 2013




 
 

MAKALAH
REVISI
INTERFERENSI DAN INTEGRASI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Sosiolinguistik”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag

logo-stain-wrn









Disusun Oleh:
MUH HABIBULLOH : 2844124019



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
JULI 2013


[1] Abdul Chaer dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.(Jakarta: Rineka Cipta,)1995
[2] Suwito.Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. (Surakarta: Henary Cipta,1985) 39-40
[3] Suwito.Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. 59
[4] Ardiana, Leo Idra.. Analisis kesalahan Berbahasa.( FPBS IKIP Surabaya,1990) 14
[5] Jendra. I Wayan. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. (Denpasar: Ikayana. 1991) 106-114

[6] Kridalaksana, Harimurti.Introduction to Word Formation and Word Classes.( Jakarta. Universitas Indonesia,1998) 84

[7]Interferensi dan integrasi, dalam  http://berandauci.blogspot.com/2013/01/interferensi-dan-integrasi.html diakses pada tanggal 20 juni 2013