BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Bahasa selalu mengalami
perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena
adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup
pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang
politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa
terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling memengaruhi antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian
integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling memengaruhi
antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan,
mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka.
Menurut Weinrich kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian
dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian.[1] Dari
kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang lain yang mencakup semua tataran. Sebagai konsekuensinya,
proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain
tidak dapat dihindari. Suwito mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih
digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa
bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi
proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai
akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.[2]
keterangan diatas masih sebagian kecil dan keterangannya yang lebih lengkap
akan dijelaskan di pembahasan dengan judul interferensi dan integrasi.
B. Rumusan
masalah
1.
Bagaimana konsep interferensi dalam kajian bahasa?,
2.
Bagaimana konsep integrasi dalam kajian bahasa?
3.
Bagaimanakah kaitannya
interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui dengan
konsep interferensi dalam kajian
bahasa?,
2.
Untuk mengetahui dengan konsep
integrasi dalam kajian bahasa?
3.
Untuk mengetahui kaitannya
interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Interferensi
Istilah interferensi kali pertama
digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu
bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur
bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Weinreich menganggap bahwa
interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang
terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya
terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dan ditegaskan pula dalam handout Sosiolinguistik,
Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, interferensi ialah masuknya unsur
suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa
yang dimasukinya baik pelanggaran kaidah fonologis, gramatikal, leksikal maupun
semantis. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi yang pertama
ialah faktor kontak bahasa disini bahasa-bahasa yang digunakan dalam masyarakat
itu saling berhubungan sehingga perlu digunakan alat pengungkap gagasan. Faktor
tersebut menyebabkan terdapat interferensi performansi atau interferensi
sistemis. Yang kedua ialah faktor kemampuan berbahasa yang akan mengakibatkan
interferensi belajar muncul. Jika kita melihat dari segi unsur bahasa yang dikuasai
terdapat interferensi progesif (interferensi terjadi dalam bentuk masuknya
unsur bahasa yang sudah dikuasai ke bahasa yang dikuasai sebelumnya) dan
interferensi regresif (masuknya unsur bahasa yang dikuasai kemudian ke bahasa
yang sudah dikuasai).
Hartman dan Stork tidak menyebut
interferensi sebagai pengacauan atau kekacauan, melainkan kekeliruan yang
terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau
dialek ke dalam bahasa kedua (Jurnal Humaniora karya Ratrika Dewi, tahun
2012). Faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi itu antara
lain adalah adanya perbedaan di antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Perbedaan yang tidak saja dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman
kosakatanya. Gejala itu sendiri terjadi sebagai akibat pengenalan atau
pengidentifikasian penutur terhadap unsur-unsur tertentu dari bahasa sumber,
kemudian memakainya dalam bahasa sasaran.
1.
Jenis
Interferensi
a.
Interferensi
bunyi/Fonetik
Interferensi
terjadi bila penutur itu mengidentifikasi fonem sistem bahasa pertama
(bahasa sumber atau bahasa yang sangat kuat memengaruhi seorang penutur) dan
kemudian memakainya dalam sistem bahasa kedua (bahasa sasaran). Dalam
mengucapkan kembali bunyi itu, dia menyesuaikan pengucapannya dengan aturan
fonetik bahasa pertama. Penutur dari jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang
homorgan di muka kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/,
misalnya pada kata:/mBandung/, /mBali/, /nDaging/, /nDepok/, /ngGombong/,
/nyJambi/ dalam pengucapan kata-kata tersebut telah terjadi interferensi
tata bunyi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia.
b. Interferensi
Tatabahasa/Morfologi
Terjadi
apabila seorang penutur mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama
dan kemudian menggunakannya dalam bahasa kedua. Interferensi tata bentuk
kata atau morfologi terjadi bila dalam pembentukan kata-kata bahasa pertama
penutur menggunakan atau menyerap awalan atau akhiran bahasa kedua. Misalnya
awalan ke- dalam kata ketabrak, seharusnya tertabrak, kejebak seharusnya
terjebak, kekecilan seharusnya terlalu kecil. Dalam bahasa Arab ada sufiks
-wi dan -ni untuk membentuk adjektif seperti dalam kata-kata manusiawi,
inderawi, dan gerejani. Tipe lain interferensi ini adalah interferensi
struktur. Yaitu pemakaian struktur bahasa pertama dalam bahasa kedua. Misalnya
kalimat dalam bahasa Inggris, I and my friend tell that story to my
father sebagai hasil terjemahan dari saya dan teman saya menceritakan
cerita itu kepada ayah saya. Dalam kalimat bahasa Inggris tersebut tampak
penggunaan struktur bahasa dalam bahasa Indonesia. Padahal terjemahan yang baik
tersebut sebenarnya adalah My friend and i tell that story to my
father.
c. Interferensi
Kosakata/Sintaksis
Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa
pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Bisa juga terjadi perluasan
pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna kata yang sudah ada
sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau bahkan gabungan dari
kedua kemungkinan di atas.Misalnya,
Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah
dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk
tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk
tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di
kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan
kepadamu kemarin.
d. Interferensi
Tatamakna/Semantik
Interferensi
dalam tata makna dapat dibagi menjadi tiga bagian.
(1)
Interferensi perluasan makna atau expansive interference, yakni peristiwa
penyerapan unsur-unsur kosakata ke dalam bahasa lainnya. Misalnya konsep kata
Distanz yang berasal dari kosakata bahasa Inggris distance menjadi kosakata
bahasa Jerman. Atau kata democration menjadi Demokration dan demokrasi.
(2)
Interferensi penambahan makna atau additive interference, yakni penambahan
kosakata baru dengan makna yang agak khusus meskipun kosakata lama masih tetap
dipergunakan dan masih mempunyai makna lengkap. Misalnya kata Father dalam
bahasa Inggris atau Vater dalam bahasa Jerman menjadi Vati. Pada
usaha-usaha ‘menghaluskan’ makna juga terjadi interferensi, misalnya:
penghalusan kata gelandangan menjadi tunawisma dan tahanan menjadi
narapidana.
(3)
Interferensi penggantian makna atau replasive interference, yakni interferensi
yang terjadi karena penggantian kosakata yang disebabkan adanya perubahan makna
seperti kata saya yang berasal dari bahasa melayu sahaya.
Bahasa yang mempunyai latar
belakang sosial budaya, pemakaian yang luas dan mempunyai kosakata yang sangat
banyak, akan banyak memberi kontribusi kosakata kepada bahasa-bahasa yang
berkembang dan mempunyai kontak dengan bahasa tersebut. Dalam proses ini bahasa
yang memberi atau memengaruhi disebut bahasa sumber atau bahasa donor, dan
bahasa yang menerima disebut bahasa penyerap atau bahas resepien, sedangkan
unsur yang diberikan disebut unsur serapan atau inportasi. Menurut
Soewito interferensi dalam bahasa indonesia dan bahasa-bahasa nusantara berlaku
bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa indonesia dan
bahasa indonesia banyak memasuki bahasa daerah.[3]
Tetapi dengan bahasa asing, bahasa indonesia hanya menjadi penerima dan tidak
pernah menjadi pemberi.
2.
Unsur-
unsur dalam Interferensi
Sekurang-
kurangnya ada tiga unsur penting yang mengambil peranan dalam terjadinya proses
interferensi yaitu:
a.
Bahasa sumber (source language)
atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang
dominan dalam suatu masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali
dipinjam untuk kepentingan komunikasi antar warga masyarakat.
b.
Bahasa sasaran atau bahasa
penyerap (recipient). Bahasa penyerap adalah bahasa yang menerima unsur- unsur
asing itu dan kemudian menyelaraskan kaidah- kaidah pelafalan dan penulisannya
ke dalam bahsa penerima tersebut.
c.
Unsur serapannya atau importasi
(importation). Hal yang dimaksud di sini adalah beralihnya unsur- unsur dari
bahasa asing menjadi bahasa penerima.
Secara
umum, Ardiana (dalam Interferensi dan Integrasi Bahasa,) membagi interferensi
menjadi lima macam,[4]
yaitu
(1) Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang
digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul
unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau
pengalaman baru.
(2) Interferensi semantik adalah interferensi
yang terjadi dalam penggunaan kata yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.
(3) Interferensi leksikal, harus dibedakan
dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa
kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua.
Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua
itu bersifat mengganggu.
(4) Interferensi fonologis mencakup intonasi,
irama penjedaan dan artikulasi.
(5) Interferensi gramatikal meliputi
interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.
Interferensi
menurut Jendra dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan
berbagai macam interferensi antara lain[5]:
(1) Interferensi ditinjau dari asal unsur
serapan
Kontak bahasa bisa
terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang
tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan
penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi
bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang
tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya
bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
(2) Interferensi ditinjau dari arah unsur
serapan
Komponen interferensi terdiri
atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima.
Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa
penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan
interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan
sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak.
Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.
(3) Interferensi ditinjau dari segi pelaku
Interferensi ditinjau dari segi
pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam
kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam
bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa
perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance
interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa
asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
(4) Interferensi ditinjau dari segi bidang.
Pengaruh interferensi terhadap
bahasa penarima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di
permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila
interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalan sistem bahasa penerima
disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek
kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula
menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Dennes
dkk. yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas
empat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
(1) Peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam
tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang
ditransfer. Hubungan antar bahasa yang unsur-unsurnya dipinjam disebut bahasa
sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam.
(2) Penggantian unsur suatu bahasa dengan
padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain. Dalam penggantian itu ada
aspek dari suatu bahasa disalin ke dalam bahasa lain yang disebut substitusi.
(3) Penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A
ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B., atau pengingkaran
hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A.
(4) Perubahan fungsi morfem melalui jati diri
antara suatu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang
menimbulkan perubahan fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model tata bahasa
A
3.
Faktor
Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain
kontak bahasa, menurut Weinrich ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
interferensi, antara lain:
a.
Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan
peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh
lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu
disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
b.
Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa
penerima
Tipisnya
kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan
sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima
yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasai
penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk
interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik
secara lisan maupun tertulis.
c.
Tidak cukupnya kosakata bahasa
penerima
Perbendaharaan
kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi
kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi
kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul
dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru
yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk
mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa
sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau
meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut.
Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk
mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan
terjadinya interferensi.Interferensi yang timbul karena kebutuhan kosakata
baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosakata baru
yang diperoleh dari interferensi ini cenderung akan lebih cepat terintegrasi
karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan
kata bahasa penerima.
d.
Menghilangnya kata-kata yang
jarang digunakan
Kosakata
dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal
ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian
menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu
pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain
pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau
peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber. Interferensi yang disebabkan oleh
menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti
interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu
unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena
unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
e.
Kebutuhan akan sinonim
Sinonim
dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai
variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara
berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang
bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan
untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena
adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi
dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk
memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata
yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
f.
Prestise bahasa sumber dan gaya
bahasa
Prestise
bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa
ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap
berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan
keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang
timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber
pada bahasa penerima yang dipergunakan
g.
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa
ibu
Terbawanya
kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada
umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan
terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang
sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam
penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena
kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis
dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang
sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
B.
Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur
bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa
tanpa disadari oleh pemakainya[6] .
Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam
bahasa lain. Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah
yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina mengacu pada
pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa
lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian
dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau
pungutan.Weinrich mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi
secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin
lama unsur itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka,
maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa
interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui
sebagai bagian dari bahasa penerima. Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang
digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus.
Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan
dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi.
Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima
unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur
serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya,
sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu
tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses
penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan
bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang
berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya.
Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi
kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan
faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu
penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain (1)
perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2)
unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya
sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya (dalam
jurnal ilmiah dengan judul Interferensi dan integrasi dalam situasi
keanekabahasaan; kongres bahasa Indonesia ke-3 pada tg. 28 Okt. - 3 Nop. 1978
di Jakarta; oleh Soepomo Poedjosoedarmo).
C.
Kaitan
interferensi dan integrasi dalam pembelajaran bahasa
Roman Jakobson memberikan
keterangan bahwa interferensi dan juga integrasi hanya akan berpengaruh
terhadap sistem bahasa sepanjang ada kemungkinan pembaharuan dalam system
bahasa penerima itu, sedangkan Weinreich
dengan lebih dulu memberi keterangan bahwa interferensi mengandung
pengertian penyusunan kembali pola-pola bahasa donor menurut system bahasa penyerap,
memberikan penegasan bahwa bagaimanapun juga sedikit atau banyak peristiwa
interferensi itu akan mempunyai pengaruh bagi system bahasa penyerapnya.
Pemakaian bahasa dalam dunia
pembelajaran tidak bisa lepas sepenuhnya dari interferensi dan
campur kode dari bahasa lain. Penelitian sederhana ini dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana siswa menggunakan interfensi dan campur kode dalam
penggunaan bahasa dalam keseharian mereka. Dapat dicontohkan dengan bagan
sebagai berikut:
Bahasa Asing
|
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa Daerah
|
||
A1
|
D1
|
|||
A2, dst
|
D2,dst
|
Sehubungan dengan adanya bahasa
yang “kaya” dengan kosakata, dan bahasa yang masih bekembang yang kosakatanya
belum banyak, timbul pertanyaan, apakah hanya bahasa “kaya” yang bisa menjadi
donor, dan bahasa “miskin” hanya menjadi resipien, ataukah sebaliknya : bahasa
“miskin” juga bisa menjadi donor pada bahasa “kaya”. Menurut logika, memang
hanya bahasa kayalah yang memunyai peluang untuk menjadi donor., sedangkan
bahasa miskin hanya sebagai resipien, dan tak berpeluang menjadi bahasa donor.
Namun, dalam kenyataannya, karena bahasa itu erat kaitannya dengan budaya
masyarakat penuturnya, maka dapat dikatakan tidak sejalan dengan pendapat
tersebut. bahwa kenyataanya bahasa yang dianggap miskin juga dapat menjadi
donor kosakata pada bahasa kaya.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa
interfensi leksikal bukanlah ditentukan oleh kaya dan miskinnya suatu bahasa,
melainkan oleh pengaruh budaya masyarakat bahasa yang melekat pada bahasa itu.
Karena dari contoh data yang diambil juga, para mahasiswa yang terlibat
komunikasi, masing-masing berlatar belakang budaya yang berbeda, ada jawa,
madura, dan sebagainya.
Banyak ditemukan interferensi pada dwibahasawan yang sangat kuat dengan bahasa ibunya, baik itu usia
anak maupun usia deawa dalam bahasa tuturan. Begitu juga dapat dilihat dari
bahasa lisan yang digunakan oleh guru pada waktu mengajar.
(1) “Ada
undangan mantenan atau ada undangan apa sehingga lupa belajarnya.”
Interferensi
ini termasuk interferensi di bidang leksikal.
(mantenan:
Jawa=pernikahan: Indonesia)
(2) “Yang
lain ada ndak?”
(Ndak:
Jawa= tidak: Indonesia)
Interferensi
ini termasuk interferensi di bidang tata bahasa.
(3) “Ndak
mau?”
(Ndak:
Jawa= tidak: Indonesia)
Termasuk
interferensi di bidang tata bahasa.
(4) Masa
ndak ada Mantovani yang lain?”
(Ndak: Jawa= tidak: Indonesia)
Termasuk
interferensi di bidang tata bahasa.
(5) “Saiki
ditulis!”
(saiki: Jawa
= sekarang: Indonesia)
Termasuk
interferensi dalam bidang leksikal dalam bentuk kata dasar.
(6) “Alat
apa yang digunakan?”
“Garisan,
pulpen”
(garisan:
Jawa = penggaris atau mistar: Indonesia)
Interferensi
ini termasuk interferensi dalam bidang tata bahasa yaitu pada penggunaan kata
dasar.
(7) “Entar…”
(entar:
dialek Betawi= nanti: Indonesia)
(8) “Karena selesai pulang langsung seger
Contoh :
“Saya belum dapat baca bukunya!” (ketika siswa menjawab pertanyaan guru
mengenai kesediaan siswa menjelaskan isi sebuah buku)
Dari contoh di atas terjadi interferensi bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia, yaitu digunakannya akhiran ne dalam bahasa Bali yang berubah menjadi nya dalam bahasa Indonesia.[7]
Dari contoh di atas terjadi interferensi bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia, yaitu digunakannya akhiran ne dalam bahasa Bali yang berubah menjadi nya dalam bahasa Indonesia.[7]
Sehubungan dengan semakin
meningkatnya tingkat interfensi bahasa yang terjadi di Indonesia, maka perlu
adanya tindakan nyata dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa
Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa
pengantar dalam dunia pendidikan. Berkaitan dengan interferesi ke dalam bahasa
Indonesia tersebut di atas, maka ada hal-hal yang perlu dilakukan.
Pertama, menyadarkan masyarakat
Indonesia terutama para generasi penerus bangsa ini bahwa bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional harus kita utamakan penggunaannya. Penyadaran ini dapat
dilakukan oleh para orang tua di rumah kepada anak-anak mereka. Dapat pula
dilakukan oleh para guru kepada para siswa mereka. Selain itu, pihak pemerintah
dapat bertindak secara bijak dalam menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan
penggunaan bahasa Indonesia di negara kita. Sebagai contoh, pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Kebahasaan.
Kedua,
menanamkan semangat persatuan dan kesatuan dalam diri generasi bangsa dan juga
masyarakat luas untuk memperkukuh bangsa Indonesia dengan penggunaan bahasa
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
persatuan yang dapat kita gunakan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Cara menanamkannya dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di
masyarakat.
Ketiga,
pemerintah Indonesia harus menekankan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar dalam cerita fiksi, baik film,maupun karangan yang berbentuk tulisan
lainnya. Dengan penggunaan bahasa Indonesia secara benar oleh misalnya para
pelaku dalam film nasional yang diperankan aktor dan aktris idola masyarakat,
masyarakat luas juga akan mengunakan bahasa Indonesia seperti para idola mereka
tersebut.
Keempat,
meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dan di perguruan tinggi.
Para siswa dan mahasiswa dapat diberikan tugas praktik berbahasa Indonesia
dalam bentuk dialog dan monolog pada kegiatan bermain drama, dalam bentuk
diskusi kelompok, penulisan artikel dan makalah, dan juga dalam bentuk
penulisan sastra seperti cerita pendek dan puisi. Dengan praktik-praktik
berbahasa Indonesia tersebut, dapat mengembangkan kreativitas berbahasa
Indonesia mereka dan juga dapat membiasakan mereka berbahasa Indonesia secar
baik dan benar.
BAB
III
KESIMPULAN
Perubahan
sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan
unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual.
Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa
dengan memasukkan sistem bahasa lain. interferensi terjadi sebagai akibat
terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa
atau dialek kedua.
Integrasi
adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan
dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap
sebagai unsur pinjaman atau pungutan . dalam proses integrasi unsur
serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya,
sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur
serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat
dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum
tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum
terintegrasi
DAFTAR RUJUKAN
Chaer
,Abdul dan Leoni Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.(Jakarta:
Rineka Cipta,1995)
Suwito.Pengantar
Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. (Surakarta: Henary
Cipta,1985)
Ardiana, Leo Idra.. Analisis kesalahan Berbahasa.( FPBS
IKIP Surabaya,1990)
Jendra. I Wayan. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. (Denpasar:
Ikayana. 1991)
Kridalaksana,Harimurti.Introduction to Word Formation and
Word Classes.( Jakarta. Universitas Indonesia,1998)
Interferensi dan
integrasi, dalam http://berandauci.blogspot.com/2013/01/interferensi-dan-integrasi.html diakses pada tanggal 20 juni 2013
|
MAKALAH
REVISI
INTERFERENSI
DAN INTEGRASI
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Sosiolinguistik”
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H.
Imam Fuadi, M.Ag
Disusun Oleh:
MUH HABIBULLOH
: 2844124019
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM
PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
TULUNGAGUNG
JULI 2013
[2] Suwito.Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan
Problema. (Surakarta: Henary Cipta,1985) 39-40
[3] Suwito.Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan
Problema. 59
[4] Ardiana, Leo Idra.. Analisis kesalahan Berbahasa.( FPBS
IKIP Surabaya,1990) 14
[5] Jendra. I Wayan. Dasar-Dasar
Sosiolinguistik. (Denpasar: Ikayana. 1991) 106-114
[6] Kridalaksana, Harimurti.Introduction to Word Formation
and Word Classes.( Jakarta. Universitas Indonesia,1998) 84
[7]Interferensi
dan integrasi, dalam http://berandauci.blogspot.com/2013/01/interferensi-dan-integrasi.html diakses pada
tanggal 20 juni 2013